Dalam pandangan masyarakat Aliansi Umat Islam, pendirian PTN Konghucu dapat menimbulkan berbagai potensi negatif. Pertama, masyarakat mengkhawatirkan pembentukan PTN Konghucu dapat mempengaruhi kehidupan beragama umat Islam, yang menjadi agama mayoritas dengan pemeluk 89,98%, berbanding dengan pemeluk Konghucu sebanyak 2,01%. Keberadaan PTN Konghucu dianggap dapat menjadi sentra Konghucuinisasi dan secara bertahap memperbesar jangkauan dan kuantitas masyarakat Konghucu di Bangka Belitung. Hal ini tidak terlepas dari akan semakin banyaknya masyarakat Konghucu yang berdatangan ke Bangka Belitung, baik untuk keperluan belajar maupun menetap dan bekerja.
Kedua, potensi gesekan antar umat beragama. Kekhawatiran membesarnya jumlah penganut dan berdirinya pusat pendidikan tinggi agama minoritas di Bangka Belitung, menurut Ketua Koordinator Aliansi Umat Islam Bangka Tengah, dapat menimbulkan gesekan antar umat beragama. Ketiga, sebagai wilayah yang memiliki penganut Konghucu dalam jumlah minoritas, kurang dari 30.000 penduduk, pembangunan PTN Konghucu dinilai tidak efektif dan tidak memiliki nilai strategis, sehingga pemerintah seharusnya menetapkan pembangunanya di wilayah lain dengan penganut agama Konghucu lebih banyak.
Hingga saat ini, memasuki tahun 2023, tindak lanjut pembangunan PTN Konghucu pertama di Indonesia tersebut belum dapat dipastikan berdirinya. Terlebih dengan masih adanya penolakan dari masyarakat.
Namun, instruksi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Rakornas Kepala Daerah 2023 ini telah secara tegas dan jelas menunjukan kebijakan politik pemerintah yang tidak memperbolehkan adanya praktik pelarangan tempat ibadah. Dalam hal ini, PTN sebagai bagian dari tempat pembelajaran agama juga tentu tidak boleh dilarang pembangunanya.
Sewajarnya, masyarakat Bangka Belitung dalam menerima dan membuka diri dengan toleransi yang luas, tidak membatasi hak masyarakat lain untuk beragama dan memperoleh akses pendidikan yang layak sesuai yang dijaminkan dalam konstitusi UUD 1945.