Ia menambahkan, kebijakan publik yang akan diterapkan di tengah publik secara teoretis haruslah diantarai oleh suatu perencanaan sosial. Substansi dan esensi dari perencanaan sosial (social planning) itu adalah teknologi sosial ( social technology) namanya. Istilah lain dari teknologi sosial adalah rekayasa sosial atau social engineering.
“Keberhasilan negara Selandia Baru mengatasi Covid-19 saya dengar adalah karena rapinya penerapan teknologi sosial. Mereka tidak hanya berkutat pada para dokter saja, tetapi segera memanfaatkan para Sosiolog, Psikolog dan Antropolog untuk merancang perencanaan sosial berbasis teknologi sosial yang ilmiah, dan itu membutuhkan konsep dari para ahli ilmu sosial. Tidak boleh sembarangan agar benar-benar efektif,” paparnya.
Penerapan aturan New Normal di kalangan ‘structured community’ jauh lebih mudah, kata Bustami, karena ia berstruktur formal. Dalam struktur formal yang ketat selalu ada minimal dua faktor, yakni hirarki komando dan aturan yang bersifat normatif atau ‘normative rules’. Dengan dua ‘kekuatan’ ini, publik bisa selalu terkendali dan diarahkan yang dikawal pula oleh mekanisme ‘reward-sanction’ yang jelas.
“Sebaliknya, dan atau di sampingnya terdapat publik yg berada di dalam ‘unstructured community’, publik yang lebih tidak berstruktur ketat yang jumlahnya jauh lebih besar katakanlah sekitar 70 persen yang bertebaran di mana-mana, di rumah-rumah, jalan, pasar dan lain sebagainya. Mereka tidak memiliki hirarki komando dan aturan normatif yang ketat dan terbatas sehingga jauh lebih sulit dikontrol dan juga lebih tidak mudah untuk disosialisasi,” ucapnya.