RUU PKS : Urgensi dan Miskonsepsi

Berita, Headline, Lokal, News4,100 views
Bagikan

Concern dari RUU PKS adalah ‘kekerasan’. Makna ‘kekerasan’ dalam hal seksual adalah suatu tindakan yang keji: memaksa, menganiaya, menguasai, intimidatif, dan sewenang-wenang secara seksual. Pengertian ‘kekerasan’ adalah diambil dari kata ‘Violance’ yang maknanya lebih pada tindakan (pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan merusak seseorang, contoh: tindakan untuk mengintimidasi orang lain melalui kekuatan, kewenangan, dan kekuasaan yang dimiliki seseorang pada orang lain). Tidak ada pasal dalam RUU PKS yang menyinggung perihal LGBT, namun menurut hemat penulis tetap kita tidak bisa menutup mata bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, terlepas dari apupun orientasi seksualnya, setiap orang berhak bebas dari ancaman kekerasan seksual.

Ikhwal memberi celah terhadap pelaku zina dan seks bebas, diketahui bahwa terdapat perbedaan penafisran mengenai definisi kekerasan seksual di Pasal 1 angka (1) RUU PKS. Makna “persetujuan” dalam definisi kekerasan seksual oleh kelompok yang kontra terhadap RUU ini diartikan sebagai kebebasan kehendak, persetujuan seksual. Seperti yang sudah dijelaskan, RUU PKS tidak membahas masalah zina dan seks bebas melainkan berfokus pada tindakan kekerasan dalam hal seksual. Mengutip dari laman Komnasperempuan.go.id Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme, “dalam hal definisi kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual soal “ada atau tidaknya persetujuan” (concent) yang sebetulnya berbeda dengan konteks berdasarkan “suka sama suka”. Justru Komnas Perempuan masih melihat hal yang dianggap “suka sama suka” adalah pengabaian terhadap perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan. Situasi yang dianggap “suka sama suka” dapat disebabkan perempuan tidak bisa menolak, tidak bisa berkata tidak, atau karena mengalami ketakutan dan ancaman. Ada tidak adanya persetujuan yang dimaksud adalah dalam arti sesuatu “yang tidak diinginkan”, atau “tidak dikehendaki” dalam konteks kekerasan yaitu: “adanya tindakan sewenang-wenang memperlakukan tubuh orang lain yang tidak diinginkan oleh orang yang memiliki tubuh tersebut, tindakan yang ingin menguasai tubuh orang lain, atau berlaku seenaknya terhadap tubuh orang lain, dan menganggap tubuh orang lain sebagai obyek, yang dalam hal ini banyak terjadi pada perempuan.””

Demikian pula mengenai anggapan pro-aborsi yang sangat tidak kontekstual. Yang dimaksud pemaksaan aborsi dalam Pasal 15 RUU KUHP adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat rangkaian kebohongan penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. Pihak yang menentang RUU PKS memutar pengertian tersebut menjadi apabila tidak dipaksa maka sah-sah saja melakukan aborsi. Penggunaan kata ’pemaksaan’ karena dalam konteks kekerasan.

Penghapusan kekerasan seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual (Pasal 1 angka (2) RUU PKS). Hal ini menjadi sangat medesak mengingat tingginya angka kasus kekerasan seksual di Indonesia dan semakin berkembangnya jenis kekerasan seksual. Merupakan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara karena hak-hak warga negara dijamin dalam konstitusitusi. Upaya hukum terhadap kasus kekerasan seksual penting dilakukan guna mengaktualisasikan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hukum acara pidana hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan  tidak sensitif korban dalam hal ini belum menitikberatkan pengalaman dan kebutuhan korban kekerasan seksual perempuan sebagai kelompok rentan. Kasus kekerasan seksual juga banyak yang tidak dapat diproses hukum sehingga menyebabkan impunitas terhadap pelaku dan kasus kekerasan seksual terus berulang yang disebabkan terbatasanya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP.  Maka dari itu penting bagi negara untuk menyediakan payung hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *