Pentingnya Independensi dan Objektivitas Psikiater Terhadap Pelaku Tindak Pidana dalam Penentuan Pertanggungjawaban Hukum

Berita, Headline, Lokal, News5,092 views
Bagikan

Penulis : Andri Yanto (Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)

 

OKEYBOZ.COM – Perbuatan pidana atau dalam konteks ilmu hukum kerap disebut juga sebagai legal definition of crime merupakan fenomena sosial yang muncul akibat adanya penyimpangan dalam masyarakat.

Perspektif pidana membagi ruang legal definition of crime ini dalam dua ranah, yakni kejahatan (mala in se) dan pelanggaran (mala in prohibita).

Kejahatan merupakan artefak sosiopolitik berupa perbuatan sengaja atau pengabaian terhadap hukum yang berakibat pada timbulnya kerugian baik dalam masyarakat maupun bagi negara.

Perbuatan kejahatan secara umum misalnya adalah pembunuhan, pencurian, perampokan, korupsi serta banyak bentuk lainya.

Sedangkan pelanggaran atau mala prohibita adalah perbuatan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai perbuatan melawan hukum.

Meski berbeda secara definitif dan normatif, baik kejahatan maupun pelanggaran karena sifatnya yang merugikan kepentingan umum maka harus dikenai pertanggungjawaban.

Berbicara mengenai pertanggung jawaban pidana, bararti berbicara mengenai orang yang melakukan tindak pidana.

Hukum pidana memisahkan antara tindak pidana yang berfokus pada perbuatan dan pertanggungjawaban yang berfokus pada kesalahan dari pelaku atau orang yang melakukan.

Seorang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung pada dapat atau tidaknya orang tersebut dimintai pertanggungjawaban.

Elemen terpenting dalam penentuan ini adalah kesalahan, yang harus dinilai secara objektif terhadap pelaku tindak pidana.

Dalam menilai pertanggungjawaban hukum, terdapat berbagai syarat yang diajukan oleh para ahli. Salah satunya adalah van Hamel yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu keadaan normal psikis dan kecakapan bertindak yang membawa tiga kemampuan dasar, yakni 1)kemampuan dalam memahami akibat perbuatan yang dilakukan, 2)kemampuan mengerti bahwa perbuatanya melanggar ketertiban dan dapat dikenai sanksi, dan 3)memiliki kehendak bebas dalam menentukan akan dilakukan atau tidaknya perbuatan tersebut.

Ketiga prasyarat yang diajukan oleh van Hamel menegaskan pentingnya korelasi antara pemidanaan dengan keadaan psikis pelaku tindak pidana.

Dalam kajian hukum, keadaan dapat dipertanggungjawabkan secara psikis ini dikenal juga sebagai toerekeningsvatbaarheid.

Sedangkan hubungan keterkaitan antara kondisi psikis dengan perbuatan disebut toerekenbaarheid atau pertagungjawaban pidana.

Kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif, melainkan dirumuskan secara negatif. Terdapat lima konklusi dari Pasal 44 KUHP.

Pertama, kemampuan bertanggungjawab dari sisi pelaku dilihat dari keadaan mental dan kesehatanya.

Kedua, penentuan kemampuan dalam konteks pertama harus dilakukan oleh psikiater yang ahli dibidangnya.

Ketiga, terdapat kausalitas hubungan antara kondisi psikis dengan perbuatan yang dilakukan.

Keempat, penilaian terhadap hubungan tersebut diputuskan oleh hakim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *