Andri Yanto (Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)
OKEYBOZ.COM, PANGKALPINANG – Rasisme adalah suatu kepercayaan atau doktrin yang menyatakan adanya perbedaan superioritas yang melekat pada ras manusia baik secara biologis, pencapaian kebudayaan maupun kapabilitas individu, yang menyebabkan suatu ras lebih baik dan unggul daripada ras lainya. Rasisme dalam banyak pandangan juga diiringi dengan mitos dan anggapan kemahaunggulan suatu ras tertentu dan menjadi alasan pembenaran bagi penindasan terhadap ras manusia lainya.
Sejarah panjang rasisme banyak berakar dari sentimen negatif bangsa-bangsa Eropa yang muncul pada awal abad Rennaisance hingga era kolonialisme-merkantilisme Barat. Perkembangan pengetahuan dan populernya temuan Charles Darwin tentang keberagaman ras manusia banyak dijadikan patokan sebagai dasar keunggulan ras kulit putih. Pandangan ini sekaligus menjadi jembatan bagi perbudakan bangsa kulit hitam dan kulit berwarna dari Afrika, Asia dan Amerika (utara & latin) oleh bangsa-bangsa Eropa untuk menyokong perekonomian mereka. Anggapan superioritas ras kulit putih adalah catatan kelam yang sangat berpengaruh dalam sejarah abad pertengahan hingga awal abad modern, dan menjadi pelajaran penting betapa manusia dapat menjadi penindas bagi manusia lainya atas dasar perbedaan ras.
Perkembangan paham rasisme di Indonesia dibawa oleh penjajah kolonial Eropa, terutama Belanda. Sejak awal penjajahan, Verenigde Oost Indische Compagnie atau VOC telah memperkenalkan konsep perbudakan dan menggambarkan superioritas ras kauskasia (kulit putih/barat) diatas ras kulit hitam dan penduduk pribumi. Bahkan berbagai literatur menyebutkan bahwa bangsa Eropa pada waktu itu menyebut bangsa pribumi sebagai orang-orang yang “tidak beradab” lantaran ketertinggalanya dibanding keluhuran peradaban bangsa Eropa.
Pandangan rasisme ditegaskan oleh pemerintah Hindia-Belanda melalui Undang-Undang segregatif dalam bidang keperdataan pada 1854 yang menjadikan rasisme seolah formal dan berkekuatan hukum. Undang-Undang tersebut mengatur pemisahan rasial dalam tiga tingkatan status sosial. Kelas pertama, tentu saja adalah bangsa kulit putih golongan Eropa yang mendapat keistimewaan dalam segala bidang. Golongan kedua adalah Vreemde Oosterlingen atau bangsa Timur Asing, meliputi orang peranakan Tionghoa, India, Arab, dan golongan non-Eropa lain yang dianggap setara. Sedangkan golongan ketiga, yang dianggap sebagai golongan terbawah adalah bangsa pribumi, pemilik tanah air yang ditindas diatas tanahnya sendiri.
Istilah yang digunakan oleh kaum kolonialis untuk menggambarkan pribumi adalah inlander. Kata ini dalam bahasa melayu dapat dipadankan sebagai bangsa asli, atau bangsa yang telah ada sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sedangkan istilah Vreemde berarti asing, yang merujuk pada bangsa-bangsa selain Eropa dan inlander yang tinggal di Hindia-Belanda. Lantas mengapa bangsa Eropa tidak termasuk sebagai Vreemde atau orang asing?
Ketiadaan kata “vreemde” dalam nomenklatur mereka menyiratkan bahwa orang Eropa bukanlah pendatang atau orang asing sebagaimana bangsa Timur, melainkan merupakan bangsa penguasa yang datang untuk memerintah dan berhak atas inlander serta bangsa timur asing yang tinggal di Hindia Belanda (Abdulsalam,2011:43).
Dhakidae (2003) menjelaskan bahwa pembedaan rasial ini tidak semata-mata ditujukan untuk memisahkan pola administrasi, sebagaimana yang diungkapkan pemerintah kolonial pada masa itu. Tujuan utamanya adalah untuk membenarkan penindasan dan pembagian pekerjaan di Hindia-Belanda melalui sistem restriksi hak. Kaum pribumi dengan pemisahan rasial ini, tidak memiliki akses pekerjaan yang baik, dan hanya dapat mengambil pekerjaan kasar sebagai kuli, petani atau sektor produksi lain yang juga dicekik dengan pajak yang tinggi. Sedangkan kaum vreemde oosterlingen umumnya bekerja disektor perdagangan dan industri yang lebih baik.
Bahkan, meski kaum vreemde dan pribumi memiliki pekerjaan yang sama, kaum pribumi tetap mendapat upah yang lebih rendah. Misalnya serdadu militer pribumi rendahan yang hanya digaji separuh dari serdadu Eropa. Begitu juga dengan pegawai pribumi yang bekerja di birokrasi pemerintahan dan institusi lainya.