Rezim kolonial Hindia-Belanda secara ekstrim juga melakukan segregasi pemukiman dengan mambatasi orang-orang untuk tinggal berdasarkan rasnya. Kebijakan ini adalah asal mula munculnya istilah Kampung Cina, Kampung Arab, maupun Kampung Melayu, yang pada dasarnya adalah kompleks yang ditinggali oleh satu ras tertentu. Kebijakan ini adalah bentuk lain dari politik “Apartheid” yang juga dilakukan oleh bangsa Eropa di Afrika Selatan sejak tahun 1930-1990 sebelum akhirnya ditumbangkan oleh Nelson Mandela.
Tujuan dasar lain dari segregasi ini adalah untuk mempermudah pengekangan ras dan merepresi jika terjadi perlawanan. Misalnya peristiwa Geger Pecinan di Batavia pada 1740, yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa. Dengan dasar anggapan berbeda ras, penduduk Melayu, Jawa dan Arab serta golongan lainya tidak turut membantu, bahkan turut memusuhi. Dengan tidak adanya persatuan, Belanda dengan mudah meringkus dan membantai lebih dari 10.000 penduduk Tionghoa.. Sederhanya, rasisme adalah alat untuk mencegah terjadinya integrasi bangsa dan melanggengkan penjajahan bangsa kolonial di Hindia-Belanda.
Jauh sebelum Belanda memperkuat pengaruhnya di Indonesia, bangsa Tionghoa teah berimigrasi besar-besaran sepanjang abad ke-16 dan 17 di Batavia dan wilayah-wilayah lain dipulau Jawa. Hubungan antara bangsa Tionghoa dan pribumi awalnya harmonis, dan bahkan banyak terjadi akulturasi agama dan kehidupan sosial masyarakat. Namun kemampuan bangsa Tionghoa dalam berdagang dan berbaur menjadi pesaing baru bagi pemerintah kolonial, sehingga untuk mencegah simpati pribumi jatuh ke mereka, dibuatlah konstruksi sosial agar terdapat batas pembeda yang memisahkan mereka.
Menurut Dhani (2005:63) salah satu strategi yang digunakan untuk menyulut kebencian kaum pribumi terhadap Tionghoa adalah dengan menjadikan kaum Tionghoa sebagai pemungut pajak dan berada diatas kelas pribumi dalam strata sosial. Akibatnya kebencian rasisme semakin tertanam dan memicu berbagai kerisuhan termasuk geger pecinan, perang Jawa 1925, kerusuhan Solo tahun 1912 dan Kudus pada 1918. Bahkan Belanda juga sempat mengadu domba Serikat Islam (SI) dengan pedagang Tionghoa. Upaya-upaya penanaman paham rasisme inilah yang memperkuat kedudukan kolonial di Indonesia dan melanggengkan konsep kapitalismenya.
Pasca Kemerdekaan : Rasisme Yang Masih Mengakar
Setelah kemerdekaan tercapai dengan proklamasi 17 Agustus 1945, meski persatuan telah dijunjung dengan Sumpah Pemuda 1928 tidak berarti praktek rasisme lenyap begitu saja. Rasisme sebaliknya bertukar posisi dan menjadikan ras pribumi sebagai ras mayoritas yang lebih mendominasi. Sentimen anti asing begitu kuat di masa-masa awal kemerdekaan, bukan hanya kepada bangsa Eropa melainkan juga pada keturunan Tionghoa yang minoritas. Kekerasan rasial sempat terjadi dan memicu konflik di Tangerang tahun 1946, Bagan Siapi-Api pada 1946, dan Palembang pada 1947 dengan sasaran keturunan Tionghoa.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, terdapat Peraturan Presiden (PP) No.10 Tahun 1959 yang isinya melarang orang asing memiliki dan menjalankan usaha dibidang perdagangan eceran ditingkat kabupaten serta mewajibkan pengalihan usaha mereka pada warga negara Indonesia. Kebijakan ini pada hakikatnya bernuansa rasis, karena 90% atau sebanyak 86.690 pedagang yang dimaksud adalah kaum Tionghoa. Kejadian ini sempat membuat Pemerintah Republik Rakyat China geram dan melayangkan protes melalui duta besarnya.
Selain Tionghoa, rasisme juga menyasar rakyat Papua di Indonesia Timur. Sejak awal rakyat Papua memang tidak turut dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia, baik melalui sumpah pemuda maupun BPUPKI-PPKI. Kaum nasionalis Papua bahkan memprroklamasikan kemerdekaanya pada 1 Desember 1961 dengan nama Negara Papua Barat. Namun berhasil digagalkan melalui operasi Trikora yang menimbulkan banyak korban jiwa. Pada Agustus 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk memutuskan bangsa Papua akan merdeka atau tetap bergabung dengan NKRI dilaksanakan dibawah pengawasan New York Agreement. Namun, Pepera ini diduga kuat penuh manipulasi, karena dari sekitar 800.000 penduduk, hanya 1025 iorang yang diberi hak memilih. Birokrat Indonesia beralasan bahwa bangsa Papua pada waktu itu masih terbelakang sehingga tidak semuanya diberi hak menyatakan pendapat.
Anti-Komunisme Yang Salah Arah