Hari Laut Sedunia : Perikanan Bangka Poros Maritim Strategis

Berita, Headline, Lokal, News3,641 views
Bagikan

Kehadiran penambangan timah di lepas pantai mendapatkan penolakan keras oleh para nelayan, lantaran aktivitas tersebut membuat para nelayan memilih melaut dengan jarak yang cukup jauh demi memaksimalkan hasil tangkap ikan. Upaya tersebut merupakan satu-satunya pilihan dan lebih condong menghindari lokasi penambangan timah yang merusak ekosistem bawah laut. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk melaut dan biaya operasional yang dikeluarkan juga bertambah. Terlebih harga bahan bakar perahu nelayan yang semakin naik.

Ketika biaya melaut meningkat dengan hasil tangkapan ikan yang tidak seimbang akan berdampak parah pada penurunan ekonomi nelayan di pulau Bangka. Persoalan tersebut menjalar dalam kehidupan, terlebih lagi para nelayan dalam menutupi biaya operasional ketika melaut pasti ikut terlibat dalam kegiatan patron-klien rentenir, sehingga nelayan pun terlilit hutang. Karakteristik kondisi mata pencarian, sistem ekonomi, dan lingkungan merupakan relasi sosial patron-klien yang sangat dominan dan penyebab terbentuknya relasi. Menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi yang disebabkan pola-pola hubungan patron-klien tergantung pada ada tidaknya permasalahan. Tentunya, ketika terjadi permasalahan seperti adanya aktivitas penambangan timah di kawasan yang dulunya merupakan kawasan aktivitas tangkap ikan menyebabkan adanya pola yang lebih menghambat sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Penurunan produksi penangkapan ikan pada tahun 2015 hingga 139.542,90 ton lantaran adanya aktifitas penambangan timah di kawasan laut pada tahun itu melonjak pesat sekitar 70 lebih jumlah kapal isap yang beroperasi di perairan pulau Bangka (Rismika & Purnomo, 2019). Produktivitas nelayan jadi terganggu lantaran laut menjadi padat oleh aktivitas kapal isap dan terancam kehilangan mata pencaharian. Menurunnya pendapatan hasil tangkapan ikan nelayan berkurang karena terumbu karang rusak akibat tertutup lumpur dihasilkan dari limbah penambangan pasir timah di laut (Rismika & Purnomo, 2019). Selanjutnya pada tahun 2016-2018 terjadi kenaikan, namun penurunan terjadi kembali pada tahun 2019 akibat izin usaha penambangan (IUP) yang dipermudah dan pada awal tahun 2020 Perda RZWP-3-K diterbitkan. Dengan demikian, diperkirakan tahun berikutnya hasil tangkap ikan oleh nelayan akan mengalami penurunan kembali.

Peristiwa tersebut akan berbuntut panjang pada sosial ekonomi keluarga nelayan yang dipaksa oleh keadaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anak para nelayan yang seharusnya merasakan pendidikan tidak bisa untuk bersekolah dan lebih memilih untuk bekerja dalam membantu perekonomian keluarga. Selain itu, isteri nelayan juga lebih memaksimalkan pendapatan keluarga sehingga identitas sebagai ibu rumah tangga lebih dikesampingkan. Kondisi yang tidak menguntungkan tersebut tentunya juga menyebabkan sebuah gejolak baru masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan terutama kemiskinan yang berdampak pada kesehatan, generasi bodoh dan kerusakan lingkungan. Apalagi pengeluaran rumah tangga nelayan terdiri dari pengeluaran pangan dan nonpangan. Dimana pengeluaran pangan jauh lebih besar dari pada non pangan (sandang, papan dan pendidikan) (Zalmi, 2015). Pengeluaran pangan lebih besar dari pada persentase pengeluaran nonpangan menggolongkan rumah tangga nelayan ke dalam rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *