Ia menilai, kurangnya kolaborasi antar lembaga menyebabkan terjadinya ketidaksinkronan kebijakan, yang juga terjadi di level kementerian, sehingga polemik dan carut-marut pertimahan di Babel tak kunjung usai. Kondisi ini pula, dikatakan Gubernur Erzaldi berefek domino pada profesi lainnya, seperti petani dan nelayan, yang lahan bercocok tanam maupun wilayah tangkap mereka menjadi terganggu akibat aktivitas pertambangan
“Antar lintas kementerian pun kerap terjadi juga perbedaan kebijakan. Kementerian Kelautan dan ESDM beda kebijakan, sehingga mohon maaf, nelayan kami teriak-teriak. Sekarang mau pilih apa, mau pilih ikan atau timah? Kalau mau pilih timah, mau tidak PT Timah memberi makan para nelayan, karena kalau timah diambil, laut tercemar,” tegasnya.
Permasalahan penting yang dialami oleh Babel saat ini, kembali dikatakan Gubernur Erzaldi, bukan hanya persoalan legal-ilegal yang masih terus menjadi isu rutin. Akan tetapi IUP (Izin Usaha Produksi) PT Timah lah yang ia anggap terlalu banyak dan luas, sehingga ia meyakini tidak dapat efektif dilakukan pengawasan oleh PT Timah terhadap wilayah IUP-nya sendiri.
“Kalau soal legal-ilegal, hal itu dipicu karena terlalu banyaknya dan luasnya wilayah IUP PT Timah. Akan sulit mengawasi, padahal PT Timah juga berkewajiban dan harus mengawasi IUP-nya,” katanya.
Untuk itu, Gubernur yang akrab disapa Bang-ER itu, meminta kepada BPK RI untuk menjadi penyambung lidah pihaknya agar diturunkan sebuah regulasi yang dapat berpihak kepada Babel, baik kewenangan, hingga royalti yang seharusnya diterima lebih dari yang didapatkan saat ini, hanya pada kisaran 3 persen.