Pastilah penjajah Kolonial Belanda tidak bersahabat dengan ulama bebas karena tidak bisa dikendalikan sesuai dengan keinginnan dan tujuan penjajahan. Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia kasus-kasus pengasingan ulama tercatat dalam tinta sejarah bangsa. Sebutkan saja misalnya Raden Mas Ontowiryo dikenal dengan panggilan Pangeran Diponegoro meninggal dipengasingan 8 Januari 1885 di Makassar Sulawesi Selatan.
Contoh lain adalah Depati Amir Pahlawan dari Babel diasingkan Belanda ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan meninggal di Kupang tahun 1885. Tentu masih banyak lagi cara-cara pengasingan yang dilakukan kaum penjajah meredam perlawanan ulama karena membela kebenaran dan anti kazaliman untuk penjaga umatnya.
Perubahan sosial dan perkembangan masyarakat sekarang ini ikut juga memberi pengaruh terhadap kedudukan ulama di masyarakat. Beragam istilah dikaitkan dengan kata ulama. Misalnya adalah ulama orsospol (ulama organisasi sosial politik), misalnya ulama orsospol PDIP, Ulama Golkar, ulama PKB, ada ulama ormas (ulama organisasi sosial keagamaan) misal ulama NU, ulama Persis, ulama Muhammadiyah, dan seterusnya. Para wartawan pun tak kurang-kurang menambah dengan istilah ulama Khas, dan diplesetkan sekarang dengan “ulama cash”.
Secara bercanda teman saya melihat dari aspek sosiologis, Dr.KH.M. Yakub Amin, MA, ulama “mimbar” kelahiran Medan ini menyebutkan bahwa ada 4 katagori ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Dikatakan ada ulama yang meninggal, ulama yang meninggalkan, ulama yang ketinggalan, dan terakhir ada ulama yang ditinggalkan.
Ulama yang meninggal adalah ulama yang istiqamah dengan profesinya sebagai pendidik dan penjaga umat; amal kebajikan, karya tulis, meninggalkan anak didiknya. Hidupnya benar-benar diabdikan untuk menjaga “ajaran Tuhan” yang disebut dengan ulama pewaris Ambiya.