Kedua adalah ulama yang meninggalkan profesinya dan beralih ke bidang lain, misalnya lari ke bidang politik sehingga umat terabaikan. Fenomena yang berkembang kembali ke khittah merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Di sini penulis tak menyebutkan nama ulamanya untuk menjada nama baik dan marwah para murid-muridnya.
Katagori ketiga adalah ulama yang tidak mampu menangkap “jiwa zaman”. Contoh kasus fatwa mengharamlan rokok dan fatwa haram rebounding misalnya. Ini artinya indikasi ulama yang ketinggalam zaman. Jadi hanya bisa membaca teks, tetapi jauh dari realitas kehidupan nyata dan tak mampu membaca konteks zaman dan masyarakat.
Dan yang terakhir adalah ulama yang ditinggalkan jamaahnya karena berbagai kasus yang terjadi dan umumnya persoalan politik. Salah satu contoh (tentu banyak contoh lain) adalah KH.Zainuddin MZ Dai Sejuta Ummat ini pernah terjun ke dunia politik. Lalu bertobat dan kembali ke Khittah aslinya sebagai ulama Indonesia populer yang sangat disegani dan dihormati masyarakat Indonesia sampai beliau dipanggil pulang Allah Swt tahun 2011.
Dari berbagai katagori di atas kata ulama mengerucut kepada istilah yang sudah dikenal luas di dunia Islam sebagaimna yang dikutip dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Ada ulama akhirat dan ada ulama dunia. Yang celaka sekali kata Abu Hamid (nama asli Al-Ghazali) adalah kalau ulama dunia memberi fatwa kepada masyarakat karena untuk kepentingan dunia maka masyarakat akan menjadi rusak. Dan ulama model ini senang sekali dekat dengan penguasa yang sedang naik panggung berkuasa.
Dalam konteks inilah sebenarnya kata-kata Sang Imam yang menyebutkan bahwa rusak umara karena rusak akhlak ulama, dan rusak akhlak rakyat karena rusak akhlak umara. Sebab itulah mengapa Imam Syafi’i (w.820 M) di Mesir berpesan supaya ummat jangan berteman dengan ulama dunia dan apalgi menimba ilmu kepadanya. Allah “alam bi shawab