OKEYBOZ.COM, JAKARTA – dalam Kongres I Front Nelayan Indonesia (FNI) pada November 2021, yang terdiri dari 11 sayap organisasi dan diwakili sejumlah 22 pimpinan sayap organisasi stakeholder nelayan dari berbagai komoditas, seperti nelayan Lobster, Petani rumput laut, komunitas budidaya lobster, petani garam, nelayan kepiting dan Rajungan, nelayan Lanra (Gilnet), nelayan penyelam (snorkel), pembudidaya bandeng, kelompok petambak dan lainnya.
Dalam keterangan pers, Wahyu Alamsyah Sekjend Front Nelayan Indonesia (FNI) mengatakan bahwa kongres merupakan forum refleksi sektor kelautan dan perikanan yang mewadahi seluruh organisasi nelayan yang berada dibawah Front Nelayan Indonesia (FNI). Mengingat Indonesia, sala satu negara maritim yang sangat besar dan kaya akan komoditas.” Katanya
Lanjut, Wahyu, masalah – masalah yang dibahas dalam kongres nelayan kemaren seputar benturan antara nelayan dengan kebijakan politik pemerintah dalam berbagai produk regulasi. Terutama, keputusan yang dapat kita ambil dalam kongres I Nelayan Indonesia kemaren adalah perjuangan politik jalur parlemen di DPR dan eksekutif dalam menghadapi Pemilihan Presiden, Pilkada, dan Pemilu Legislatif.
“Namun, negara maritim belum sepenuhnya memahami apa yang menjadi kehendak berdaulatnya nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia. Secara politik diparlemen DPR, belum sungguh – sungguh perjuangan dan keberpihakan terhadap nelayan. ” imbuhnya
Wahyu Alamsyah juga mengeluhkan, regulasi di sektor kelautan dan perikanan belum mampu pertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial, dan hukum, terutama terkait dengan nasib kesejahteraan nelayan di berbagai daerah. Mulai dari Peraturan Menteri Kelautan – Perikanan dan UU Perikanan. Dampak regulasi yang bertentangan itu, maka nelayan dan masyarakat pesisir terjadi polarisasi.” Keluhanya
Selain itu, Wahyu terangkan lebih jauh, kalau selama ini, banyak kebijakan yang merugikan nelayan dan dampaknya pada sektor ekonomi dan sosial. Padahal, potensi perikanan tangkap di Indonesia sangat besar, seharusnya bisa lebih meningkatkan kinerja pendapatan negara.
“Misalnya pada periode lalu, terjadi pelarangan sekitar 17 cabang alat tangkap nelayan. Apalagi, adanya program relokasi nelayan yang tidak sesuai wilayah (WPPNRI) dan tempat nelayan menangkap ikan, termasuk dinamika nelayan yang tak kunjung ada kepastian dalam berusaha,” tutupnya.