Megah dalam kondisi ini adalah besar dan tingginya tiang-tiang serta kubah masjid. Kadang kala kemegahan ini tidak berbanding lurus dengan luas masjid yang menjadi patokan utama untuk kapasitas masjid.
Bahkan saking megahnya masjid ini, hanya untuk meletakkan rata-rata empat pelantang suara diperlukan menara masjid yang menghabiskan dana (yang pastinya berasal dari umat) hingga mencapai ratusan bahkan sampai milyaran juta.
Begitu pula demi mendapatkan estetika, beduk yang mewah, yang sebenarnya hanya menjadi tradisi budaya, sampai harus mengambil dana yang sama banyak pula. Semua ini menunjukkan satu hal yang sama yaitu penggunaan dana masjid untuk bentuk fisik.
Dari jumlah dan kemegahan masjid yang ada di Bangka Belitung dan secara umum masjid di luar Bangka Belitung, sering kali penggunaan dana masjid paling besar adalah untuk pembangunan dan fasilitas masjid. Pertanyaan besarnya adalah “apakah dana masjid hanya mampu digunakan untuk memegahkan masjid? Apa hanya sampai di situ?”
Guna menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu saya ingin menceritakan sebuah kejadian dari buku yang ditulis oleh pemikir Iran, Ali Syari’ati, dalam bukunya yang berjudul “Ideologi Kaum Intelektual”, ia menjelaskan bagaimana sebuah komunitas Syiah mampu memaksimalkan dana umat.
Perlu dicatat kita tidak sedang membahas pro atau kontra Syiah tetapi membahas nilai dari aktivisme kelompok Syiah yang mampu merekonstruksi pemikiran guna mencapai masyarakat Islam yang Ummah. Syari’ati menjelaskan bagaimana megahnya acara peringan Asyura.
Sebuah hari sakral untuk kembali memupuk nilai-nilai perjuangan revolusi berdarah yang dilakukan oleh keturunan Nabi Muhammad SAW. Di hari ini orang-orang akan mengadakan pesta yang luar biasa meriah, menghabiskan banyak uang demi satu hari ini.
Kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini adalah berfoya-foya. Lalu dari sebuah komunitas Syiah kecil muncul sebuah gagasan untuk tidak berfoya-foya. Mereka tetap merayakan Asyura tetapi tidak dalam konteks berfoya-foya.
Perayaan Asyura tetap dilakukan dengan cara sederhana tanpa mengurasi esensi dari Asyura. Dari kesederhanaan ini, uang sisa dari perayaan Asyura yang tergolong banyak kemudian digunakan untuk membuka usaha secara kolektif.
Seiring waktu, usaha itu membawa banyak keuntungan. Keuntungan ini kemudian dapat digunakan untuk membantu usaha orang-orang dari komunitas Syiah tersebut. Yang tentunya, bagi hasil dari keuntungan tersebut tidak akan memberatkan pihak peminjaman.
Karena pendekatan yang dilakukan adalah kekeluargaan bukan mengincar materi. Alhasil program yang dapat dikatakan berbentuk koperasi tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan komunitas Syiah tersebut telah mampu menyekolahkan pemuda-pemuda mereka ke luar negeri, lebih banyak dari usaha pemerintah negara tersebut menyekolahkan orang-orang ke luar negeri.
Dari cerita yang berdasarkan pengamatan Ali Syari’ati tersebut, titik awal kesuksesan dari kelompok Syiah tersebut adalah “kesederhanaan”. Menggelola dana sisa perayaan Asyura untuk hal-hal yang sebenarnya lebih penting yaitu pengembangan individu dan masyarakat.
Komunitas yang dulu berfoya-foya pada hari Asyura, dengan sedikit rekonstruksi pola pikir, kini telah mampu mandiri, saling membantu sesama, meningkatkan nilai ukhuwah Islamiah, dan mampu menyokong pendidikan untuk generasi muda.
Dari cerita ini, penulis ingin mengajak pembaca melihat potensi masjid sebagai poros pengembangan masyarakat. Dana masjid yang begitu berlimpah tentu sudah menjadi sumber kekuatan untuk mengawali ini. Yang perlu kita lakukan adalah memiliki keberanian untuk memulai. Bayangkan, berapa banyak masjid yang dibangun begitu megah tetapi masyarakat di sekitar masjid itu masih banyak yang miskin, terlilit hutang, tidak memiliki daya upaya karena minim kreativitas dan modal untuk berusaha.