Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada awal tahun 2023 di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung tersebut menjadi bukti bahwa faktor digitaliasasi menjadi penentu perilaku anak kedepan. Kasus yang sontak mengkagetkan masyarakat Bangka Belitung itu menuai banyak perhatian pasalnya usia pelaku masih belasan tahun dan masih mengenyam bangku pendidikan sekolah. Pelaku berbekal pisau dari rumah yang sebelumnya telah direncanakannya ingin mendapatkan uang dengan cara menculik anak yang berusia 8 tahun tersebut.
Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak tidak serta merta keinginan membunuh muncul tiba-tiba, pasti sudah terpikirkan adanya faktor yang mendesak untuk melakukan pembunuhan. Faktor rasa ingin mendaptakan uang secara instan dan ingin tahu menjadi salah satu pemicu seseorang dapat melakukan pembunuhan dan mengabaikan naluri perasaannya untuk ego semata. Tidak sedikit yang kita saksikan pembunuhan yang dilakukan anak dilatar belakangi oleh faktor tersebut. Seiring berkembangnya zaman pelaku pembunuhan tidak hanya didominasi oleh orang dewasa saja melainkan melibatkan anak dengan variasi usia di bawah 18 tahun. Fenomena pembunuhan yang menimpa anak sebagai pelaku semakin membuat miris dikala melakukan proses perjalanan hidupnya, anak saat usia muda sudah tersandung masalah hukum dan menyandang gelar tak kasat mata sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) serta sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan sudah dapat dipastikan di sisa usianya yang sangat produktif akan dihabiskan di dalam jeruji besi.
Dari sisi proteksi negara, upaya perlindungan anak masih sangat lemah. Perkembangan teknologi membuat anak sangat mudah mengakses apapun diinternet, baik hal positif maupun hal negatif termasuk bagaimana cara melakukan pembunuhan untuk mendapatkan uang. Hal tersebut dapat memberikan paparan konten negatif dan berdampak buruk pada perkembangan anak, termasuk didalamnya pembentukan karakter, nilai, dan perilaku yang akan terbawa hingga dewasa.
Pertanggungjawaban Anak Atas Tindakan Pidana
Pertanggungjawaban pidana anak tidaklah cukup jika hanya didasarkan pada hukum materil seperti yang diatur dalam KUHP, karena KUHP tersebut ketentuan hukumnya tidak saja bersifat konvensional, tetapi juga karena perilaku dan peradaban manusia sudah demikian kompleks bahkan perkembangannya jauh lebih cepat daripada aturan yang ada. Oleh karena itu, melalui pasal 103 KUHP, masih dibenarkan adanya perbuatan lain yang menurut Undang-undang selain KUHP dapat dipidana sepanjang Undang-Undang tersebut bertalian dengan masalah anak dan tidak bertentangan dengan ketentuan KUHP berdasarkan asas (Lex Specialist Logi Generali).Dalam hal ini Undang-undang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang Perlindungan anak merupakan lex specialist dari KUHP.
Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak yaitu, bagi anak yang belum berumur 14 tahun hanya dikenakan tindakan, demikian bunyi Pasal 69 ayat (1) , sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas dua belas (12) sampai delapan belas (18) tahun dijatuhkan pidana. Dengan kata lain, pelaku pembunuhan terhadap Hafiza dapat dipidana. Pasal 70 mengatakan bahwa “ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Batasan umur tersebut tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Adanya ketegasan dalam suatu peraturan perundang-undangan tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas di lapangan, agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah didik, salah tuntut maupun salah mengadili, karena menyangkut hak asasi manusia.
Pertanggungjawaban pidana dari anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana akan dilihat dari aturan yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP. Merujuk pada kasus AC yang melakukan pembunuhan dengan mutilasi terhadap korban Hafiza, pelaku ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berdasarkan Pasal 340 KUHP dan atau Pasal 338 KUHP dan atau Pasal 80 ayat 3 juncto Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Pelaku menghadapi ancaman pidana 20 tahun penjara.Pasal 338 dan 340 KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan pembunuhan. Dua pasal itu merumuskan aspek kesalahan dalam bentuk sengaja.