Dalam artikel ini mencoba untuk mengelupas sekelumit tantangan
masyarakat pesisir terhadap proses penangkapan ikan yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan desa Batu Beriga.
Teknologi dan Transformasi sosial
Sejarah peradaban manusia sudah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi mempunyai peranan yang besar untuk upaya peningkatan kesejahteraan
dan mempengaruhi corak kehidupan masyarakat. Hanya dengan teknologi kita bisa
membudidayakan sumber daya alam secara optimal. Namun dalam prosesnya,
inovasi teknologi membawa pe-ngaruh yang kuat ke arah transformasi tata nilai
serta norma kehidupan masyarakat. Kilas balik isu tahun (2016) tentang batalnya
program pemerintah dalam memberikan subsidi pengadaan 1.000 kapal nelayan
yang berbobot mati di atas 30 GT, akan tetapi rencana program ini dibatalkan oleh
komisi IV DPR yang tidak setuju dan mendesak pemerintah untuk memprioritaskan
kapal yang berukuran lebih kecil (tradisional). DPR menganggap hal ini sebagai
upaya pencegahan perubahan sosial dimasyarakat nelayan. Tetapi hal ini menjadi
kurang bijak jika penolak-an tersebut menentang inovasi teknologi guna
meningkatkan kemampuan tangkap. Masalah ini berkaitan dengan proses
modernisasi, tidak saja berkaitan dengan proses transformasi yang menyangkut
tradisi serta sosial budaya masyarakat pesisir, tetapi juga diakibatkan oleh keadaan
serta iklim perekonomian yang diciptakan pemerintah seperti apa.
Sama halnya isu lain yang terjadi pada tahun (2017) tentang pemerintah yang
mengimpor garam sebesar 1,8 juta ton. Sebagian masyarakat mempertanyakan
urgensi pemerintah dalam mengambil langkah tersebut padahal laut Indonesia luas
tetapi masih mengimpor garam. Semua ini disebabkan oleh produksi garam
nasional 100 persen masih mengandalkan proses produksi secara tradisional alias
masih mengandalkan panas matahari hal tersebut menjadi pemicu rendahnya
produksi garam nasional dan hingga saat ini tidak ada pengembangan teknologi
tepat guna dan bernilai ekonomis yang dapat diaplikasikan oleh para penambak
garam. Akibatnya produksi garam masih bergantung pada kondisi cuaca.
Seharusnya sejak lama pemerintah dan perguruan tinggi untuk dapat
mengembangkan dan mencari inovasi baru berupa teknologi yang tepat guna dan
ekonomis bagi para petani garam untuk memacu meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksinya. Teknologi memang merupakan sti-mulan buat
meningkatkan produksi pengelolaan sumber daya alam, namun ha-rus dimengerti
jika stimulan itu mempunyai makna sebagai peranan terwujudnya struktur sosial
serta budaya baru dalam eksistensi masyarakat itu sendiri. Teknologi bisa dijadikan
sebagai suatu pusat orien-tasi dan titik penting buat memenuhi bagaimana
berlangsungnya proses serta mekanisme perkembangan yang berlangsung. Peran
teknologi bagi struktur ma-syarakat pesisir adalah memantapkan struktur baru
sebagai akibat dari transformasi struktur lama, di mana struktur lama yang tidak fungsional lagi digantikan perannya oleh komponen struktur yang lebih cocok
dengan pola- pola nilai yang adaptif.
Inovasi teknologi berkaitan dengan terminologi “ modernisasi”. Menurut Ralph
Linton (1986), modernisasi merupakan proses perubahan yang kompleks dalam
masyarakat yang melibatkan pergeseran dari kebiasaan dan tradisi yang lama
menuju penggunaan teknologi dan organisasi yang lebih modern. Linton
menganggap modernisasi sebagai proses yang tidak bisa dihindari setiap
masyarakat dan bahwa setiap masyarakat akan mengalami modernisasi pada suatu
waktu tertentu. Namun Linton juga menekankan pentingnya menjaga
keseimbangan nilai-nilai tradisional dan modern dalam proses modernisasi
sehingga masyarakat tidak kehilangan identitas budayanya. Dari pengertian ini,
apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat nelayan, berarti modernisasi
merupakan proses yang membawa masyarakat menjadi maju, aman, dan sejahtera
serta selalu siap sedia dalam menghadapi dan mengimbangi kemajuan teknologi
dan transformasi sosial.
Analogi sebaliknya bisa berati bahwa proses transformasi sosial pada
masyarakat berdampak pada pergeseran tata nilai yang dapat mengakibatkan
penolakan terhadap datangnya teknologi tertentu. Hal ini terkait dengan mindset
dan budaya. Pengalaman dari penolakan komisi IV DPR terhadap program bantuan
1. 000 kapal berbobot 30 GT dari pemerintah ialah refleksi dari benturan aspirasi
masyarakat nelayan( budaya lokal) dengan inovasi teknologi. Penyebabnya yakni,
belum terdapat perencanaan yang matang untuk menghadapi transformasi sosial.
Pendidikan sumber energi manusia belum jadi program prioritas serta masif. Di
samping itu, kesiapan para nelayan buat menerimanya belum disertai dengan
penciptaan iklim ekonomi yang kondusif di zona perikanan.
Kendala lainnya yakni pentingnya menciptakan iklim ekonomi yang kondusif
untuk masyarakat pesisir. Hal ini bisa dicermati, seandainya saja benar kapal
berbobot besar diberikan kepada para nelayan tradisional, secara murah bisa
menjerumuskan para nelayan kecil terhadap ketergantungan kepada para tengkulak.
Pengeluaran biaya pengoperasian kapal di atas 30 GT lumayan besar, bisa mencapai
puluhan juta rupiah sekali perjalanan. Terlebih, BBM yang dipakai untuk kapal ikan
di atas 30 GT dikenakan harga non subsidi( harga industri). yang jadi
permasalahannya : dari mana para nelayan kecil mendapatkan modal untuk
mengoperasikan kapal tersebut jika bukan dari para tengkulak? Terlebih pihak
perbankan pun belum bersedia mengucurkan kredit modal buat para nelayan.
hingga akhirnya kapal tersebut berubah kepemilikan ke tengkulak. Jika perihal itu
hingga terjadi, jelas bantuan kapal akan terus menjadi menjerumuskan para nelayan
kecil pada praktik- praktik yang melanggar hukum dan akhirnya terjebak dalam
sistem patront-client.