Sekolah Menjadi Sarana Tempat Bullying

Election, Headline, Opini, Umum40,550 views
Bagikan

Kekerasan simbolik merujuk pada penggunaan simbol, budaya, atau lambang untuk menjaga atau meningkatkan kekuasaan, kontrol, dan dominasi atas kelompok atau individu tertentu.

Dalam konteks ini, kekerasan tidak selalu bersifat fisik, melainkan bersifat simbolis dan bersumber dari perbedaan kekuatan sosial dan ekonomi antar kelompok. Bourdieu menyoroti peran penting pendidikan dan media dalam proses kekerasan simbolik.

Institusi-institusi ini dapat menjadi alat untuk mentransmisikan nilai-nilai dan norma-norma yang mendukung kepentingan kelompok dominan, memperpetuasi tidak setaraan, dan merendahkan kelompok yang kurang berkuasa.

Bullying terjadi atas perbedaan ekonomi, fisik dan biasanya bullying sering dialami oleh anak-anak yang memiliki fisik yang lemah dibandingkan anak yang lainnya sehingga kemungkinan menjadi sasaran pelaku bullying yang lebih dominasi, seperti kata pepatah orang yang lemah akan kalah dengan orang yang punya kekuasaan dan kekuatan sehingga kaum yang lemah akan menjadi budak.

Bullying di sekolah-sekolah dalam Bangka Belitung juga terjadi meskipun jenis tindakan bullying tidak seekstrim seperti kasus bullying yang terjadi diluar sana namun tidak menutup kemungkinan bullying tidak ada namun mungkin saja tidak adanya pihak keluarga korban yang mengungkapkan.

Bullying biasanya sering terjadi dari sekolah dasar (SD) tak jarang di pendidikan perguruan tinggi juga sering terjadi namun berbeda konteks tidak dalam bentuk fisik lagi namun dalam bentuk verbal yang dilontarkan dengan lawakan berkedok “candaan” sedangkan dibangku sekolah tidak hanya dalam bentuk verbal namun ada juga yang berbentuk fisik seperti perundungan dan pelecehan. Para pelaku melakukannya untuk kesenangan semata atau memiliki dendam tersendiri.

Para korban bullying tidak banyak yang berani memberitahu keluarga mereka maupun sekolah sehingga apabila tidak ada dalam tindakan mungkin akan membuat mental si korban rusak dan memiliki trauma akan orang lain dan pelaku mungkin saja dapat melakukan bullying yang lebih parah lagi kedepannya.

Pendidikan yang diharapkan memiliki kenangan indah dalam masa menempuh pendidikan namun tidak sedikit yang merasakan sekolah seperti neraka yang menakutkan bagi mereka mendengar kata-kata ledekan yang dilontarkan temannya maupun kekerasan yang didapatkan, namun terpaksa sekolah untuk memenuhi tanggung jawab pada orang tuanya terpaksa sekolah meskipun dengan hati yang terus bertanya-tanya dalam diri akankah hari ini merekaa tidak mempermalukan ku sebagai bahan ledekan atau kekerasan yang di dapat. Terkadang korban juga ada yang sudah berupaya melaporkan pada wali kelas mereka namun tidak sedikit yang menganggap bahwa hal tersebut tidak termasuk ke dalam pembullyan sehingga menganggap hal tersebut biasa candaan anak-anak dan menganggap si korban saja sehingga tidak mendapatkan tindakan yang serius.

Apa bila hal tersebut sering terjadi tanpa adanya peranan guru, orang tua dan masyarakat dalam menghentikan bullying yang terjadi maka bully akan selalu menjadi ancaman untuk anak-anak dan orang tua sehingga akan terus menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun, lalu menciptakan lingkungan dan suasana yang menyenangkan tanpa adanya pilih kasih dilingkungan sekolah serta sekoalh juga dapat memberikan peringatan terhadap pelaku bullying dengan sosialisasi atau bimbingan mengenai pembullyan, mereka yang lemah juga ingin mendapatkan hak yang sama mempunyai teman dan menikmati masa-masa menempuh pendidikan mereka dengan kenangan – kenangan bahagia tidak hanya derita dan candaan yang mempermalukan atau kekerasan fisik yang diberikan oleh teman-temannya yang dikenang. Sehingga tidak menimbulkan dendam bahwa dia akan memperlakukan seperti yang dialaminya dulu semasa sekolah. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *