OKEYBOZ.COM, OPINI — Di Indonesia, lebih dari 60% anak usia sekolah, mengalami perundungan (Bullying) yang dilakukan oleh teman sebayanya (Unicef, 2020). Bullying merupakan “perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok” (Supriyatno, et al., 2021).
Bullying sendiri tidak hanya terjadi di dunia nyata (real), Perkembangan teknologi digital secara masif mendorong bullying sampai ke ranah media sosial maupun internet (dunia maya) (Unicef Indonesia, 2020).
Sementara di Indonesia sendiri, perilaku bullying sangat dilarang sehingga anak-anak wajib mendapat perlindungan dari perilaku tersebut (Sesuai amanat Undang-Undang No. 35 tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan Penanggulangan Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan pendidikan) (Supriyatno, et al., 2021).
Upaya implementasi pengumpulan bukti korban bullying dan penunjukan aparat penegak hukum terhadap kasus bullying, yaitu kepolisian, menjadi keseriusan pemerintah dalam mengatasi bullying (Twintasari & Djatmiko, 2023).
Konvensi Hak-Hak Anak juga menyatakan bahwa semua anak memiliki hak atas pendidikan, dan perlindungan dari semua bentuk kekerasan fisik, mental, kerusakan, atau perlakuan salah (Unicef Indonesia, 2020).
Dengan adanya aturan atau hukum di Indonesia tentang larangan perilaku bullying, para pelaku dan korban bullying masih saja terjadi. Kasus bullying yang sedang viral di Indonesia saat ini sehingga sedang diusut kronologi kasus oleh Kementerian Kesehehatan RI dan kepolisian setempat yaitu mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah yang diduga bunuh diri karena bullying (Wulan & Susilo, 2024). Ada juga kasus pembunuhan oleh dua pemuda di Bangka Selatan karena kesal kepada seorang teman yang sering membully mereka (Marlianto, 2024).
Mengapa dan dimana perilaku bullying terjadi?
Pelaku bullying, secara umum, mengalami disfungsi keyakinan dan pemikiran irrasional sehingga menimbulkan rasa superioritas yang mendorong pada perilaku agresif dan terus melakukan bullying (Rosramadhana, et al., 2020). Sebaliknya, korban bullying cenderung berpikiran negatif, seperti merasa lemah dan pantas di-bully, setelah mendapatkan perlakuan bullying. Beban psikologis yang diterima oleh korban tersebut menyebabkan ketidakberdayaan dalam melawan tanpa usaha terlebih dahulu dan mendorong intensitas bullying semakin tinggi (Irmayanti & Agustin, 2023).
Sekolah atau lingkungan akademik tidak luput dari perilaku menyimpang, salah satunya bullying. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang melaksanakan kegiatan pembelajaran secara sistematis untuk membantu siswa dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Irmayanti & Agustin, 2023). Perilaku Bullying juga berdampak negatif kepada organisasi dan saksi sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu dan produktivitas organisasi (Pnua, S., Ahmad, S., & Salim, M., 2024). Bullying menyebabkan hak-hak natural individu maupun kepentingan bersama menjadi terganggu, seperti: ancaman pada status profesionalitas, ancaman pribadi, mengisolasi, beban kerja yang berlebihan, dan perbuatan yang menyebabkan ketidakstabilan.
Pentingnya Pendidikan perspektif Gender dalam Mengatasi Bullying
Gender merupakan konstruksi sosiokultural terhadap jenis kelamin (seks) seseorang sehingga mampu menentukan peran maupun perilaku sosial (Kartini & Maulana, 2019; Jhpiego, 2020). Berbeda dengan seks, gender sifatnya lebih relatif, bukan kodrat, tergantung nilai kolektif yang dibangun oleh masyarakat di wilayah tertentu (Azisah, Mustari, Himayah, & Masse, 2016; Kartini & Maulana, 2019). Perspektif gender tidak hanya sebagai alat analisis terhadap konstruksi sosiokultural melalui tipe jenis kelamin, pada umumnya tidak setara, tetapi juga melalui perbedaan ras dan kelas (kaum marginal) (Robinson, 2011).