Sejak itu, Kario dikenal dan terkenal dengan panggilan Kario Pantun. Dan sebagai penghargaan terhadap kemampuannya ini, bupati Bangka Tengah kala itu
Drs. H. Abu Hanifah (alm), melalui Dinas Pendidikan Bangka Tengah memintanya untuk mengajar muatan lokal pelajaran pantun di SD 12 Kurau.
Sejak 3 januari 2005, ia mengasuh acara berbalas pantun di salah satu radio swasta di Pangkalpinang hingga sekarang.
Selama menggeluti dunia pantun, sedikitnya Pak Cik Kario sang Pujangga Pantun telah mengikuti beberapa kegiatan diantaranya, mengikuti kajian sastra Melayu di Universitas Malaya di Kuala Lumpur Malaysia, pengucapan pantun sedunia di Malaka, lomba pantun se sumatera di Riau, lomba pantun tingkat Asia Tenggara di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Juara berpantun pada acara HUT Kobatin di Koba, juara pantun se Bangka Belitung di rumah Dinas wali kota, dan beberapa kegiatan lainnya.
“Awalnya pantun kita asal-asalan. Tapi Alhamdulillah saya bisa ikut kajian sastra Melayu di Universitas Malaya Kuala Lumpur selama dua minggu. Disinilah saya belajar berpantun”, jelas Kario
Ia menambahkan bahwa Melayu itu identik dengan pantun, dan pantun identik dengan Melayu. Dan umumnya yang menghidupkan pantun itu adalah Melayu.
“Orang Melayu menyindir anaknya yang malas bekerja, supaya tidak tersinggung ia menggunakan pantun. Sementara anaknya sedang jatuh cinta, maka ia gunakan pantun”, tambah Kario
Pujangga Pantun Bangka Belitung ini menutup bincang-bincang kami dengan pantun,
“Ikan seluang di panggang saja
Mau dipindang tidak berkunyit
Anak orang dipandang saja
Mau dipinang tidak beduit”,