Pun demikian, masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian sebagai nelayan tetap tak mendapat kabar baik. Beberapa kali melakukan aksi massa hingga audiensi tetap tidak mampu menghentikan aktivitas tambang tersebut. Padahal sudah jelas pada pasal 80 butir (j) terkait pelarangan aktivitas penambangan pasir yang secara teknis, ekologis, sosial, dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.
Desas desus akan adanya penertiban tambang timah oleh aparat penegak hukum tak membuat masyarakat bergembira, informasi akan hal itu selalu bocor ke pihak penambang. Sehingga pada saat operasi berlangsung, para penambang sudah siap siaga menyembunyikan ponton mereka dan menghentikan aktivitas penambangan beberapa waktu, setelah itu mereka akan kembali beraktivitas seperti biasanya. Seolah tak ada efek jera bagi para penambang atau mungkin mendapat kawalan khusus dari pihak aparat.
Kemudian UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada pasal 145 ayat 1 butir (a) dan (b) menerangkan bahwa masyarakat berhak menerima ganti rugi akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan Pertambangan dan masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan Pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bahkan, pada pasal 158 mempertegas bahwa setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah. Berkaca hingga persoalan hari ini terjadi, masihkah peraturan tersebut ditegakkan?