KIP dengan nama “Bintang Samudra 275” tersebut berada di depan objek wisata Tongachi, sebuah lokasi yang ramai dikunjungi wisatawan, dan dianggap warga bekerja terlalu dekat dengan bibir pantai.
Aksi ini mencuat karena kekhawatiran warga mengenai dampak operasi KIP terhadap lingkungan dan mata pencaharian mereka. Sarifudin, Kepala Lingkungan Nelayan 2 Sungailiat, menjelaskan bahwa warga merasa terganggu dengan posisi kapal yang dianggap terlalu dekat dengan pantai serta ketidakadilan dalam kesempatan bekerja di wilayah tersebut.
“Pertama, KIP beroperasi terlalu dekat dengan bibir pantai. Kedua, saat warga bekerja menggunakan ponton dengan izin lengkap dan sudah memiliki Surat Perintah Kerja (SPK), mereka diusir dan tidak diizinkan bekerja. SPK mereka bahkan dicabut,” ungkap Sarifudin dengan nada kecewa, yang dikutip dari redaksi INTRIK.ID
Tidak hanya itu, Slamet Riyadi, Sekretaris Jenderal DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Bangka, yang turut serta dalam rombongan warga, menegaskan agar KIP segera dipindahkan dari lokasi tersebut. Ia juga menyerukan agar PT. Timah selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bertindak adil dengan mencabut SPK kapal tersebut.
“HNSI Bangka bersama nelayan meminta agar KIP dipindahkan karena jaraknya terlalu dekat. Kami juga mendesak PT. Timah untuk segera mencabut SPK KIP itu. Selain itu, kami mempertanyakan kenapa objek wisata Tongachi atau Puri Ansell yang dulu tidak mengizinkan warga bekerja di depannya saat menggunakan PIP, sekarang memperbolehkan KIP bekerja di sana? PT. Timah harus bertindak tegas dan mencabut SPK kapal tersebut,” ujar Slamet Riyadi tegas.