Sementara ketika ditanya mengenai pengawasan PT Timah terhadap kuota dan SPK (Surat Perintah Kerja) yang diberikan kepada CV, terutama terkait masalah ponton ilegal yang melebihi jumlah SPK resmi, Dicky kembali menekankan bahwa penegakan hukum bukanlah wewenang PT Timah.
Dalam pernyataannya, ia hanya menggarisbawahi bahwa PT Timah melaksanakan penambangan sesuai aturan dan Good Corporate Governance (GCG), serta rutin melakukan pelaporan ke instansi terkait.
Namun, Dicky tidak merinci langkah konkret apa yang diambil oleh PT Timah untuk memastikan kepatuhan terhadap SPK dan meminimalisir ponton ilegal yang kerap beroperasi di wilayah tersebut.
Selain itu, saat disinggung mengenai rendahnya persentase produksi yang disetorkan oleh penambang—hanya sekitar 10-20% dari target yang dilaporkan—Dicky tidak memberikan jawaban spesifik tentang solusi yang diupayakan perusahaan untuk mengatasi masalah ini. Jawaban yang diberikan cenderung umum, yaitu bahwa PT Timah terus melakukan pengawasan dan pelaporan.
Satu-satunya langkah khusus yang disebutkan Dicky adalah upaya aktif dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta melaporkan temuan ke instansi terkait.
“Langkah khusus: aktif sosialisasi ke masyarakat, melaporkan ke instansi terkait untuk kemudian ditindaklanjuti,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini tetap mengindikasikan bahwa tindakan PT Timah sebatas pada penyampaian informasi tanpa adanya langkah konkret untuk menekan laju pertambangan ilegal atau memastikan kepatuhan di area operasional.
Pernyataan Dicky yang terkesan melepas tanggung jawab ini mengundang berbagai kritik dari kalangan masyarakat dan pemerhati lingkungan. Banyak pihak yang menilai bahwa sebagai perusahaan besar yang beroperasi di sektor tambang, PT Timah seharusnya memiliki komitmen yang lebih kuat dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pelaporan secara efektif.