Taufik menyoroti bahwa aktivitas apa pun di atas barang sitaan negara, termasuk lahan, adalah pelanggaran hukum. “Barang yang telah disita tidak boleh disentuh oleh siapa pun, apalagi digunakan untuk aktivitas komersial seperti land clearing dan penanaman sawit,” tegasnya.
Dugaan pelanggaran semakin parah setelah ditemukan bahwa dua dari tiga perusahaan tersebut, yaitu PT. FAL dan PT. BAM, tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), izin utama yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan perkebunan kelapa sawit.
“Berdasarkan penelusuran kami, PT. FAL baru memiliki izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, mereka belum memiliki IUP,” jelas Taufik.
Hal serupa juga ditemukan pada PT. BAM. “Mereka diduga belum punya IUP, tapi sudah melakukan penanaman sawit. Ini adalah pelanggaran regulasi yang harus segera ditindak.”
Di tengah tudingan tersebut, Manager PT. BAM, Desak K Agustini, membantah keterlibatan pihaknya di lahan sitaan Kejati Babel. “Kami tidak berani melanggar hukum. Aktivitas kami tidak berada di lahan yang bersinggungan dengan PT. NKI,” ujar Desak saat dihubungi.
Namun, terkait tudingan bahwa PT. BAM belum memiliki IUP, Desak hanya menjawab singkat, “Saya cek dulu aturannya.”
Sementara itu, Manager PT. SAML, Purnomo, belum memberikan tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Namun, Dato’ Ramli Sutanegara, yang disebut berada dalam lingkaran PT. SAML, membantah tuduhan bahwa perusahaan tersebut beraktivitas di lahan sitaan. “PT. SAML tidak pernah beroperasi di lahan sitaan Kejati Babel,” tegas Ramli.